TUNDUK PADA HIKMAT ALLAH
Ayb 12:1-25
Orang sombong merasa diri lebih pandai dan berhikmat daripada orang lain. Mereka merasa tahu segala sesuatu, orang lain tidak tahu apa-apa. Mereka bisa begitu karena hanya membanding-banding dengan orang lain. Seharusnya mereka membandingkan dengan hikmat Tuhan!
Ayub merasa sikap sok tahu teman-temannya itu membutakan mata mereka dari kebenaran sejati (ayat 2). Apa yang mereka tahu, Ayub juga tahu. Namun, Ayub, yang doa seruan-Nya didengar Allah sadar akan keterbatasan diri untuk mengerti misteri kehidupan. Hikmat sejati membimbing pada pemahaman yang benar. Hikmat sejati tidak menjadikan orang sombong apalagi menghakimi bahwa orang yang menderita pasti berdosa sehingga patut mendapat hinaan. Sebaliknya mereka yang sombong telah berlaku fasik dengan menyangka bahwa sikap yang sedemikian tidak akan dimurkai Allah. Kesombongan mereka menjadi-jadi seakan mereka sejajar dengan Allah (ayat 2-6).
Ayub mengajak mereka belajar dari dunia ciptaan lainnya. Semua makhluk yang sederhana mengetahui Allah sebagai pencipta mereka (ayat 7-11). Apalagi seharusnya manusia. Bahkan orang tua yang berpengalaman sekali pun tidak boleh merasa diri paling berhikmat (ayat 12). Karena sumber hikmat dan kuasa ada pada Allah. Dengan hikmat dan kuasa-Nya Ia menetapkan segala sesuatu. Alam ada dalam kendali-Nya (ayat 14-15). Hikmat dan kekuasaan para pemimpin tidak berdaya di hadapan-Nya (ayat 17-25). Bila Allah sudah menetapkan sesuatu, maka manusia hanya bisa tunduk menerima. Orang paling pintar pun bisa hilang akal bila mau melawan kedaulatan dan hikmat-Nya.
Memang mudah untuk merasa diri paling tahu dari antara orang lain. Akan tetapi, orang Kristen insyaf bahwa pengetahuan Allah tidak terbatas. Maka berhentilah sok tahu tentang sebab musabab masalah orang lain seakan-akan Anda mahatahu. Jadilah orang yang rendah hati. Mintalah hikmat Allah supaya kata-kata Anda menjadi saluran kasih Allah bagi orang yang menderita.
Renungkan: Dalam kerendahan hati orang yang tidak tahu apa-apa bisa menghibur sesama yang menderita oleh hikmat ilahi.
MEMBANDINGKAN DIRI
Ayb 12:1-25
Ketika kita menderita salah satu godaan terbesar pada saat itu ialah membandingkan penderitaan yang diri kita alami dengan kebahagiaan orang lain. Ini adalah respons manusiawi; kita cenderung mengukur keadilan dari sudut, apakah orang lain menerima yang sama seperti yang kita terima atau tidak. Tetapi, dampak dari sikap ini adalah kekecewaan yang dalam terhadap Tuhan. Kita mulai mengklaim bahwa Tuhan tidak adil dan tidak mengasihi kita. Tampaknya Ayub terperangkap di dalam jebakan yang serupa.
Pada ayat 6, Ayub mengeluh dengan sinis. Ayat ini merupakan pengkontrasan dengan ayat 4, ketika Ayub berseru dan seakan menyesali kondisinya, “Aku menjadi tertawaan sesamaku … orang yang benar dan saleh menjadi tertawaan.” Ayub menganggap bahwa ia telah diperlakukan tidak adil oleh Tuhan. Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal ini terjadi pada dirinya, sedangkan ia telah hidup saleh? Tuhan tidak adil karena telah menghadiahinya penderitaan. Sebaliknya, orang yang hidup dalam dosa, menurut Ayub, justru menikmati ketenteraman. Dalam penderitaan, Ayub membandingkan diri dengan orang lain. Ini sangat berbahaya karena ia menuntut keadilan Tuhan.
Melalui perikop ini, kita belajar bahwa beberapa hal yang penting dan perlu untuk kita pelajari dan pahami dalam perjalanan iman kita adalah pertama, bahwa apa yang menjadi bagian kita adalah wujud dari keadilan dan kasih Allah. Kedua, menerima bagian kita apa adanya tanpa harus membandingkannya dengan bagian orang lain. Tuhan tidak mengharapkan agar kita dapat memahami seutuhnya setiap tindakan-Nya, namun Ia mengharapkan supaya kita mempercayai-Nya, bahwa Ia adalah Allah yang baik, kudus, dan adil.
Renungkan: Ketika kita berusaha mengatasi kesulitan-kesulitan hidup, tidak jarang kita menemukan kegagalan, kegagalan yang sering kali juga diciptakan oleh konsep rohani yang sempit dan dangkal. Akibatnya, kita mulai berpikir bahwa tidak mudah memahami kesulitan hidup. Hal ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa hanya dalam Kristus sajalah kebenaran itu mewujud.
PENDALAMAN AYAT
Wycliffe: Ayb 12:1–14:22
f) Jawaban Ayub kepada Zofar (12:1-14:22).
Karena sangat jengkel dengan sahabat-sahabatnya, Ayub kemudian melancarkan kecaman yang amat pedas kepada mereka yang dengan sombong meragukan keadaan dirinya (12:1-13:12). Ayub menyatakan dirinya benar kepada sahabat-sahabatnya itu (13:13-19), dan sesudah itu dia kembali mengajukan permohonan langsung kepada Allah (13:20-14:22). Ketika mengajukan permohonan ini, di dalam jiwa Ayub muncul secercah harapan baru – yaitu harapan hidup di balik syeol (dunia orang mati)! Sekalipun keadaan gundah menggelapkan kata-kata penutup yang diutarakan Ayub, jelas di dalam tanggapannya kepada Zofar, imannya mulai naik menuju kemenangan meninggalkan jurang keputusasaan.
Wycliffe: Ayb 12:1–13:12 – Bersama-sama kamu hikmat akan mati // deritaannya. Aku tidak kalah dengan kamu // Penghinaan bagi orang yang celaka – demikianlah pendapat orang yang hidup aman // Mereka hendak membawa Allah dalam tangannya // Tetapi bertanyalah kepada binatang // Aku hendak berbicara dengan Yang Mahakuasa // Dianggap kebijaksanaan daripadamu // Apakah kamu mau memihak Allah, berbantah untuk membela Dia? (13:8) // sebaliknya kamulah orang yang menutupi dusta // Dalil-dalilmu adalah amsal debu dan perisaimu perisai tanah liat // Apakah baik kalau Ia memeriksa kamu? // Kamu akan dihukum-Nya dengan keras
12:1-13:12. Bersama-sama kamu hikmat akan mati (12:2b). Sarkasme Ayub menunjukkan sikap tidak tahannya terhadap para sahabat yang secara bergantian telah mengalunkan nada hambar yang sama. Uraian-uraian mereka akan terus mengusik Ayub namun ia tidak akan menganggap serius lagi perkataan mereka sebagai kemungkinan solusi terhadap penderitaannya. Aku tidak kalah dengan kamu (12:13b; bdg. 13:2). Bentuk uraian yang mereka sampaikan tidak menunjukkan bahwa mereka patut menganggap diri lebih baik daripada Ayub. Penghinaan bagi orang yang celaka – demikianlah pendapat orang yang hidup aman (ay. 5a). Di dalam keadaan yang sangat jengkel Ayub mengeluhkan keadaan itu. Karena mengalami berbagai kesukaran, orang dengan hikmat ilahi diperlakukan bagaikan seorang penjahat berdasarkan sebuah teori yang bertentangan dengan fakta lain (yang juga menjengkelkan), yaitu bahwa para perampok hidup makmur sementara dirinya demikian direndahkan hingga menjadi tertawaan (12:4-6). Mereka hendak membawa Allah dalam tangannya (ay. 6c). Seperti Lamekh (bdg. Kej. 4:23, 24; Dan. 11:38) mereka mendewakan senjata yang ada di tangan mereka.
Tetapi bertanyalah kepada binatang (12:7a). Doktrin ketiga sahabat itu tentang hikmat agung Allah merupakan pengetahuan yang umum; semua makhluk ciptaan mengetahui hal itu. Dalam 12:11-25 Ayub menunjukkan bahwa ia mengenal konsep tentang kekuasaan ilahi yang para sahabatnya bermaksud ajarkan kepadanya. Uraiannya tentang hal itu justru melebihi apa yang mereka uraikan sebelumnya (bdg. Mzm. 107). Seluruh kemuliaan dan martabat kerajaan manusia di dunia ada di dalam kekuasaan Allah yang berdaulat mutlak (ay. 23; bdg. I Kor. 1:25). Kekuatan-kekuatan utama dari alam siap melayani-Nya menjungkirbalikkan bumi (12:14; bdg. Kej. 7). Para tokoh sipil dan keagamaan yang tertinggi sekalipun tidak berdaya di hadapan-Nya (12:17-21, 24). Ayat 19 menyebutkan para imam dan etanim (bdg. kata Ugarit ytnm yang’ artinya serikat pegawai kuil / imam). Ayub merasa senang sekali menguraikan nas ini, “Bukankah Allah telah membuat hikmat dunia ini menjadi kebodohan?” (I Kor. 1:20), dan ‘orang tidak perlu jauh-jauh mencari orang-orang berhikmat yang dimaksudkan Ayub ini.
SUMBER:
http://alkitab.sabda.org/commentary.php?book=18&chapter=12&verse=1