MIMBAR KEMEWAHAN DAN SALIB KEHINAAN

Mimbar Kemewahan dan Salib Kehinaan: Dua Jalan yang Bertolak Belakang

1.Di layar kaca dan media sosial, tak sulit menemukan gambaran para pendeta Injil Kemakmuran: mengenakan jas mahal, berdiri di atas panggung dengan lampu megah, dikelilingi oleh pengawal, lalu naik jet pribadi menuju konferensi berikutnya. Di tengah sorakan dan persembahan, mereka mengajarkan bahwa iman bisa membawa kelimpahan materi, bahwa menjadi anak Tuhan berarti hidup dalam kemakmuran tanpa kekurangan.

2.Namun di balik retorika penuh motivasi dan klaim-klaim berkat finansial itu, bayangan dari satu sosok menjadi semakin mencolok oleh perbedaannya—Yesus dari Nazaret. Ia, yang disebut sebagai Tuhan dan Juruselamat, tidak memiliki tempat untuk meletakkan kepala-Nya (Lukas 9:58), diserahkan ke pengadilan agama dan politik, dipermalukan di hadapan massa, memikul salib-Nya sendiri, dan akhirnya mati sebagai terdakwa kriminal di antara dua penjahat.
Dua jalan yang tampaknya sama-sama “rohani,” namun sebenarnya bertolak belakang: satu menuju mimbar berlapis emas, yang lain menuju bukit Golgota.
________________________________________
Kemewahan di Atas Nama Iman
1.Para pengkhotbah Injil Kemakmuran sering mengutip ayat-ayat yang menjanjikan kelimpahan: “Tuhan adalah Gembalaku, takkan kekurangan aku,” atau “Dia menjadikan kepala dan bukan ekor.” Mereka mengajarkan bahwa keberhasilan finansial adalah bukti iman, dan sebaliknya, kemiskinan dianggap sebagai kurangnya keyakinan atau kutukan rohani.

2.Mereka membangun kerajaan pribadi dengan “branding spiritual”: gereja sebagai perusahaan, pelayanan sebagai produk, dan berkat sebagai janji yang bisa dicicil melalui persembahan. Gaya hidup mereka mencerminkan hal itu—jet pribadi, rumah mewah, jam tangan eksklusif, bahkan terkadang label “CEO of the Kingdom.”
Namun, dalam bayang-bayang keberhasilan itu, kita patut bertanya ulang: apakah ini benar-benar gambaran dari Sang Mesias yang mereka wartakan?
________________________________________
Yesus: Jalan Sengsara, Bukan Jalan Cepat
1.Yesus tidak datang ke dunia sebagai bangsawan atau politikus. Ia lahir di kandang hewan, tumbuh sebagai anak tukang kayu, dan menghabiskan pelayanan-Nya bersama orang-orang miskin, sakit, dan tersingkir. Ia tidak memungut bayaran dari mujizat yang Ia lakukan. Ia tidak menjual tiket untuk pengajaran di bukit.
Yesus justru berkata, “Barangsiapa mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23)

2.Puncak dari pelayanan-Nya bukanlah kejayaan politik atau kekayaan duniawi, melainkan pengadilan palsu, cambukan Romawi, dan salib hina. Ia ditelanjangi, diludahi, dikenakan mahkota duri, dan dijatuhi hukuman mati seperti penjahat. Tidak ada kemewahan. Tidak ada kehormatan. Yang ada hanya pengorbanan dan kasih yang tak terbalas.
________________________________________
Benturan Narasi: Salib atau Pangkat?
Pertanyaan yang muncul: apakah Injil Kemakmuran benar-benar sejalan dengan Injil Kristus yang tersalib?
Jika keberhasilan seseorang diukur dari kekayaannya, maka kita harus bertanya: mengapa Yesus tidak sukses secara duniawi? Mengapa Paulus, Petrus, dan para rasul justru menderita, dianiaya, dan kebanyakan mati sebagai martir?
Mungkin, karena ukuran keberhasilan dalam Kerajaan Allah bukanlah uang, tetapi ketaatan dan kasih. Bukan kekuasaan, tetapi pengorbanan. Bukan reputasi, tetapi kerendahan hati.
________________________________________
Panggilan Gereja Hari Ini
1.Gereja masa kini dipanggil untuk tidak terpikat pada citra, tetapi kembali pada wajah Yesus yang berdarah dan berkeringat di jalan menuju Golgota. Kita diajak untuk tidak sekadar bersorak ketika diberkati, tetapi juga setia ketika menderita. Untuk tidak mencari berkat sebagai tujuan akhir, tetapi menghidupi salib sebagai gaya hidup.

2.Ada saatnya Tuhan memberkati umat-Nya dengan materi—dan itu baik. Tapi ketika kekayaan menjadi pusat pemberitaan Injil, dan salib digantikan dengan slogan kesuksesan, kita kehilangan inti kekristenan itu sendiri.
________________________________________
Penutup: Jalan yang Dipilih
1.Yesus tidak mati agar kita bisa hidup dalam kemewahan. Ia mati agar kita diselamatkan. Ia menanggung salib, bukan agar kita punya istana, tapi supaya kita tahu bahwa kasih Allah menembus penderitaan terdalam.

2.Kiranya kita sebagai umat percaya tidak hanya melihat mimbar yang bersinar, tetapi juga salib yang berdarah. Dan ketika dunia bertanya siapa Tuhan kita, kita bisa menunjuk pada Pribadi yang disalibkan, bukan sekadar ditinggikan.